Dinamika dan Tantangan KUHP Baru

Pembentuk KUHP baru

Pada hari Selasa, (6/12/2022) dalam Rapat Paripurna DPR RI, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah digodog oleh lintas rezim dan pemerintahan sejak tahun 1963 akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM beserta DPR RI yang dalam hal ini merupakan tupoksi dari Komisi III membuat legacy bersejarah dengan KUHP baru sebagai bentuk pembaruan hukum pidana di Indonesia.

Sebagaimana yang diketahui bahwa KUHP Belanda telah berlaku di Indonesia sejak tahun 1918, yang artinya hingga disahkannya KUHP baru tersebut, Indonesia telah menggunakan KUHP Belanda selama 104 tahun. Namun KUHP baru tidak lantas berlaku saat disahkannya RUU tersebut menjadi UU, diperlukan waktu 3 (tiga) tahun atau tepatnya pada tahun 2025 KUHP baru tersebut dapat diterapkan/ berlaku. Hal itu disampaikan oleh pembentuk KUHP baru bahwa dengan adanya waktu 3 (tiga) tahun tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemahaman/ sosialisasi KUHP baru kepada masyarakat dan secara khusus bagi penegak hukum agar nantinya dapat meminimalisir kesalahpahaman dan kesalahan penafsiran terhadap setiap pasal-pasal dan ketentuan yang terdapat di dalam KUHP baru tersebut.

Perjalanan KUHP baru sempat dan masih menjadi sorotan publik dengan keberadaan pasal-pasal yang dianggap kontroversial; di antaranya terkait pasal penghinaan terhadap pejabat publik termasuk di dalamnya pasal tentang penghinaan terhadap Presiden, pidana santet, pidana kumpul kebo, berkurangnya masa pidana hukuman badan untuk pelaku korupsi, pidana demonstrasi yang sebelumnya tidak melakukan pemberitahuan kepada aparat, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis, dll. Pasal-pasal kontroversial itu oleh masyarakat bukan hanya menjadi catatan serius, bahkan di beberapa kota besar marak terjadi demonstrasi hingga penolakan terhadap kehadiran KUHP baru tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh para pembentuk UU yang dinilai tidak serius dan terkesan tidak menyerap masukan/ aspirasi publik dalam proses pembentukan KUHP baru tersebut.

Hal yang menarik dengan disahkannya KUHP baru ini diantaranya di dalam pidana pokok tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial. Selain itu KUHP baru mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi serta pihak-pihak yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat. Hal tersebut membuat korporasi untuk semakin sadar dan patuh serta taat (compliance) terhadap regulasi.

Founder Mohd Law Firm, Mohd Sulthoni menilai dan memberikan sorotan khusus, “meskipun perumusan KUHP baru ini terkesan tidak transparan dan jauh dari peran partisipasi publik dengan kurang mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan publik, namun dengan telah disahkannya KUHP baru ini diharapkan menjadi batu acuan untuk menghadirkan penegakan hukum yang berkeadilan sesuai jati diri bangsa Indonesia. Selain itu, tugas berat bagi Para Pembentuk untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya para penegak hukum agar implementasi di lapangan terhadap KUHP baru tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pembentuk UU. Dengan begitu penegak hukum tidak lagi sembarangan, tebang pilih dan cenderung jauh dari rasa keadilan dalam menggunakan kewenangannya khususnya kepada masyarakat kecil.”

=============
Mohd Law Firm provides legal consultancy related to litigations & non litigations.
For your legal solutions please contact us. Hotline: +62 881 1717 860 via Whatsapp & Telegram (24/07) or send some message via email: [email protected]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top