Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Lanjut atau Cerai?

Kehidupan rumah tangga yang harmonis tentu menjadi hal yang diidam-idamkan pasangan suami istri. Namun, jika pasangan suami/ istri kerap melakukan tindak kekerasan (KDRT), apakah perceraian menjadi jalan satu-satunya yang harus ditempuh? atau lebih baik diam dan berharap pasangan suami/ istri bisa berubah seiring berjalannya waktu?

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan isu sensitif yang sudah acap kali terjadi. Belakangan semakin marak dibicarakan oleh masyarakat seiring dengan begitu masifnya penyebaran informasi melalui media sosial. Disaat yang bersamaan kasus-kasus KDRT yang banyak terjadi di masyarakat itu tidak banyak yang terekspos/ terkuak sebab banyak korban/ keluarganya yang memilih diam atau bungkam karena kebiasaan normalisasi budaya kekerasan dalam rumah tangga yang masih kental di kalangan masyarakat kita.

KDRT menurut UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pasal 1 angka 1 yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga. 

Perilaku kasar baik verbal dan non verbal seperti mencela, memukul, menyakiti pasangan atau anggota keluarga lain dalam keluarga seringkali dianggap sebagai sikap yang wajar atau biasa saja di lingkungan masyarakat. Seringkali, korban yang sudah mengumpulkan keberanian diri untuk melaporkan tindak KDRT justru dianggap berlebihan atau membesar-besarkan masalah. Padahal perilaku KDRT sekecil apapun jika berlangsung terus menerus dapat memberi dampak negatif yang bisa jadi tidak hanya mengakibatkan cedera fisik namun juga dapat memengaruhi kesehatan psikologis korban dan bahkan anak pasangan tersebut yang berakibat secara tidak langsung menyebabkan lunturnya keharmonisan kehidupan rumah tangga. 

KDRT di Indonesia masih sering dianggap sebagai aib dalam keluarga, sehingga banyak korban terutama pada kalangan perempuan, korban KDRT memilih diam karena perasaan takut dikucilkan komunitas atau keluarga dan membiarkan pelaku bebas tanpa memprosesnya ke pihak yang berwajib (Kepolisian). Banyak korban KDRT menggunakan dalih mempertahankan keutuhan rumah tangga demi anak-anak untuk tetap hidup berdampingan sebagai pasangan suami istri dengan pelaku KDRT. Padahal, menurut pakar psikologi perilaku KDRT tidak mudah untuk disembuhkan kecuali dengan terapi khusus, sementara jamaknya pelaku KDRT justru tidak menyadari bahwa sikap yang dilakukannya merupakan hal negatif yang membahayakan korban (tindak pidana).

Perilaku KDRT tidak selalu langsung berefek buruk pada korban. Banyak kasus KDRT yang dampaknya lebih kepada menghancurkan mental korban alih-alih mencederai secara fisik. Tindakan penelantaran rumah tangga dan pemaksaan atau kekerasan seksual bisa jadi tidak nampak secara kasat mata, namun sangat mengancurkan psikologis korban KDRT. Selama korban bisa melakukan tindakan preventif dengan upaya komunikasi yang baik terhadap pelaku, dalam hal ini pilihan perceraian bisa menjadi jalan akhir untuk menyelesaikan kasus KDRT. Tentu upaya memperbaiki hubungan dengan komunikasi ini harus disertai dengan tindakan rehabilitasi atau terapi perilaku oleh tenaga ahli (psikolog atau konselor rumah tangga) yang bisa diupayakan untuk kembali membangun keharmonisan rumah tangga. Jika yang terjadi adalah kekerasan fisik yang berlangsung terus-menerus dan bisa membahayakan keselamatan korban, tentu menjadi suatu keharusan untuk segera melaporkan pelaku KDRT ke pihak berwajib. Memprosesnya secara hukum dan mengakhir pernikahan dengan mengajukan perceraian ke pengadilan adalah solusi terbaik demi kesejahteraan psikis , fisik/ diri dan seluruh anggota keluarga.

Oleh sebab itu maka, segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindak pidana yang oleh hukum korban dan/ keluarganya diberikan hak untuk mengadukan/ melaporkan kepada kepolisian setempat (delik aduan). Sebagaimana diatur oleh negara dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 dengan tujuan mencegah, melindungi korban, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, serta memelihara keutuhan rumah tangga. 

Oleh UU, sebagai upaya dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini setiap korban berhak mendapatkan: 

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Pelayanan bimbingan rohani.

Selain itu, siapa saja setiap korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapatkan perlindungan berupa :

1. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.

2. Perlindungan sementara paling lama tujuh hari sejak korban diterima atau ditangani.

3. Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Untuk pendampingan dan layanan jasa hukum terkait kasus KDRT, Anda dapat menghubungi Kami melalui kontak resmi Mohd Law Firm.

=============
Mohd Law Firm provides legal consultancy related to litigations & non litigations.
For your legal solutions please contact us, hotline: +62 881 1717 860 via Whatsapp & Telegram (24/07) or send some message via email: [email protected]

1 thought on “Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), Lanjut atau Cerai?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top